Thursday, March 6, 2008

Mencermati Peringkat USU 10 Besar

WASPADA Online Thursday, 06 March 2008 19:59

Anggota DPRD Sumut Rafriandi Nasution mengecam Universitas Sumatera Utara (USU) masuk "Top 10 Universities" yang dibuat oleh Majalah Globe Asia (edisi Februari 2008). Intinya, USU belum pantas masuk dalam daftar tersebut ("10 Besar USU Diragukan", Waspada, 1/3). Seandainya penilaian dilakukan secara ilmiah, pendapatnya wajar saja sebagai kritik membangun. WASPADA Online

Oleh Jhon Tafbu Ritonga

Anggota DPRD Sumut Rafriandi Nasution mengecam Universitas Sumatera Utara (USU) masuk "Top 10 Universities" yang dibuat oleh Majalah Globe Asia (edisi Februari 2008). Intinya, USU belum pantas masuk dalam daftar tersebut ("10 Besar USU Diragukan", Waspada, 1/3). Seandainya penilaian dilakukan secara ilmiah, pendapatnya wajar saja sebagai kritik membangun.

Karena rujukannya ialah tulisan Priyo Suproho di Kompas (15/2) dan yang mengomentari seorang anggota dewan yang masih muda, dinamis dan kebetulan sedang duduk sebagai Ketua Komisi E, maka menjadi perlu dicermati. Dengan pencermatan ini diharapkan stakeholder memahami substansi isu rating Globe Asia dan komentar pembacanya. Pembaca lain ialah Dewi Susanti dalam The Jakarta Pos ("University Competitiveness", 1/3) menilai rating perguruan tinggi perlu lebih banyak sebagai info bagi masyarakat.

Majalah Globe Asia edisi Februari 2008 menurunkan rating atas perguruan tinggi di Indonesia. USU masuk dalam daftar 10 besar PTN dengan nilai skor 230. Pada urutan pertama 10 besar PTN ialah Universitas Indonesia (UI) dengan skor 366. sementara dalam 10 besar PTS pada urutan pertama ialah Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan skor 356. jika daftar 10 PTN dan 10 PTS di gabung , maka hanya satu PTN dan PTS di Sumatera yang masuk daftar. Bahkan di luar Jawa hanya USU dan UNHAS yang masuk dalam 20 besar dengan skor antara 151-366.

Salah satu yang dikritik oleh Priyo dalam Kompas (15/2) ialah karena tak sesuai kriteria Badan Akreditasi Nasional. Di samping itu dia mempertanyakan skor UPH yang lebih tinggi dibanding dengan UGM dan ITB. Saya dapat memahami kecurigaan Priyo mengingat adanya berita di internet bahwa Globe Asia ialah bagian dari Group Lippo milik keluarga Riyadi, dan UPH ialah bagian dari Group Lippo.

Tetapi Globe Asia punya hak menilai dengan ukuran dan caranya sendiri dalam hal rating. Bahwa pemerintah punya ukuran dan cara mengakreditasi juga sah-sah saja. Siapa pun bisa saja mencuriga Globe Asia atau kurang obyektif membuat rating tersebut. Penempatan UPH sedikit di bawah UI juga tentu ada alat dan cara menghitungnya. Globe Asia jelas punya argumentasi sesuai dengan indikator yang nilainya dalam membuat rating tersebut.

Globe Asia membuat penilaian berdasarkan faktor-faktor Acedemic Greatness (14 elemen ), Holistic Education dan Campus Dynamism (15 elemen), dan Impact to Society (3 elemen). Apabila dicermati satu per satu elemen penilaian, akan kelihatan pergeseran masing-masing PTN dan PTS. Misalnya dalam hal Conprehensive University, UI diberi skor (80) dan USU (61), semester ITB (45), IPB (42) dan ITS (36). Begitulah hasil penilaian Globe Asia. Tak sepantas ada yang mengecam UI atau USU tak pantas mendapat skor demikian.

Mengenai urutan USU, sebenarnya sudah lama mendapat peringkat yang lebih baik dari versi Globe Asia. Majalah "Tempo" misalnya, pernah menempatkan USU pada urutan yang lebih atas. Beberapa tahun lalu surat kabar "Media Indonesia " juga menempatkan ranking USU yang lebih baik dari Globe Asia. Secara faktual minat masyarakat memilih jurusan IPA di USU memang masuk dalam daftar tiga besar. Buktinya banyak anak-anak dari Malaysia dan Jawa yang memilih USU. Seperti saya, Rafriandi dkk serta masyarakat Malaysia yang memilih USU tentu saja karena pertimbangan rasional bahwa USU lebih baik.

Rating perguruan tinggi bisa dilakukan dengan berbagai ukuran dan cara. Bahkan sesuai maksud dan tujuan rating. Salah satu elemen yang digunakan misalnya ialah gaji dosen dan uang kuliah. Makin banyak duitnya kian tinggi skornya. Oleh karena itu, perlu dicermati ukuran dan cara yang digunakan serta tujuan rating. Demikian juga halnya dengan rating USU yang lebih tinggi ataupun di bawah versi Globe Asia. Hasil rating tetap berguna mengevaluasi diri atau introspeksi. Masyarakat tidak akan terkecoh, karena punya alat ukur sendiri hingga sampai pada keputusan kuliah di USU atau PTN dan PTS lain.

Penilaian bisa juga dilihat per fakultas. Misalnya Fakultas Kedokteran USU masuk dalam daftar internasional. Fakultas Hukum USU merupakan salah satu yang disegani di Indonesia. Di kalangan pimpinan Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi Negeri, FE USU berani menegakkan kepala sebagai salah satu fakultas yang diperhitungkan. Agustus 2007 lalu, FE USU bersama UI, UGM dan UNAIR diminta Mendikas memaparkan potensi masing-masing masuk dalam akreditasi internasional. Bahwa banyak yang harus ditingkatkan, itu benar, dan still on going.
Kembali pada rating yang dibuat oleh Globe Asia, keistimewaan ialah dibuat oleh majalah berbahasa Inggris. Dengan demikian, lebih terbuka untuk diakses masyarakat global. Dalam hal academic greatness misalnya, berdasarkan faktor Internationalisation, USU diberi skor 32 dari angka maksimum 40. Dalam hal ini USU sama dengan UI, atau di atas IPB (29), ITS (26), UGM (18), ITS (26) dan ITB (18).

Dengan indikator Internasionalisasi tersebut tentu USU tidak boleh sombong karena merasa lebih hebat. Dalam elemen lain, USU justru di bawah UI. Seperti elemen mutu fakultas, USU diberi skor 23, sementara UI dengan skor 25. Angka ini diperoleh dari elemen Student/Teacher Ratio, yakni USU (11) dan UI (20) plus elemen Foreign Faculty Members, yaitu USU (12) dan UI (5).

Dalam hal Comprehensive University misalnya, hanya tiga fakultas yang di nilai oleh GlobeAsia, yakni Faculty of Medicine, Faculty of Law dan Business School (itu sebabnya mungkin IKAFEKSU membuat iklan ucapan selamat). Dengan skor maksimum 10, ternyata USU dinilai dengan skor 7 untuk ketiga fakultas tersebut. Sementara UI dan UGM diberi skor maksimum (10) dan Unpad (5). Sedangkan ITB, IPB dan ITS mendapat skor nol karena perguruan tinggi itu tidak mempunyai fakultas dimaksud.

Demikian tanggapan ini untuk menempatkan isu Top 10 Universities versi Globe Asia secara proporsional. Terlepas dari setuju atau tidak dengan hasil rating dimaksud, sebagai majalah baru Globe Asia berhasil menarik perhatian pembacanya. Masyarakat Sumut, terutama wakil rakyat, sepantasnya menerima kabar baik itu secara obyektif. Syukur masih ada perguruan tinggi dari Sumatera yang masuk dalam rating dimaksud. Mudah-mudahan bermanfaat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Sumut.

Tuesday, January 8, 2008

Kontroversi Penghargaan Untuk Profesor
(Terima Kasih Kepada Pemprovsu)

Sekitar 190 dari 250 orang anggota Asosiasi Profesor Indonesia Sumatera Utara (API Sumut) menerima uang penghargaan sebesar Rp39,25 juta per orang dari APBDSU 2007. Seperti dikutip Kompas (9/1), menurut Ketua Fraksi Bintang Reformasi DPRDSU yang juga Ketua KAHMI Sumut RM Syafii, perjuangannya bermula tahun 2004. Dia baru tahu gaji profesor hanya sekitar tiga jutaan rupiah. Maka diperjuangkanlah dan mendapat pos anggaran sekitar Rp7,5 miliar dalam APBD 2007 (terima kasih atas usaha itu).

Keberadaan API Sumut sendiri baru dideklerasikan bulan Desember 2007 lalu. Latar belakang utamanya ialah sebagaimana pernah dikemukakan di harian ini, yaitu untuk mendapatkan dana bantuan untuk API tersebut. Kabarnya ketentuan tidak membenarkan bantuan dalam APBD tidak boleh untuk person sehingga perlu teknik pencairan yang legal. Oleh karena karena itu, API Sumut menerima baru kemudian dibagikan untuk anggotanya yang sudah menjadi profesor sebelum 1 Januari 2007. Muncul tanda tanya di kalangan dosen dan sebagian guru besar USU. Kenapa pendidik lain tidak mendapat? Kenapa profesor yang mungkin lebih

berprestasi tapi baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2007 tidak berhak menerima? Apa dasar API Sumut membagi ratanya dengan syarat sudah profesor sebelum 2007? Kenapa tidak mempertimbangkan prestasi dan dedikasi? Kenapa tidak ada pemotongan PPh 21? (Kompas, 8/2). Pertanyaan-pertanyaan yang demikian membuat profesor yang sudah menerima dengan sangat gairah agak jengkel. Ada menanggapi dengan nada protes; 'Itu karena dia nggak kebagian!'. Tetapi, karena curiga ada rentetan di belakang hari, beberapa guru besar USU yang saya kenal menyatakan siap mengembalikannya jika melanggar ketentuan.Baiklah kita fahami dulu siapa sebenarnya yang dimaksud dengan profesor. Sebelumnya harus difahami pula definisi dosen.

Menurut Undang-undang Tentang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, dosen ialah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ipteks melalui tri dharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian dan pengabadian masyarakat. Dosen mempunyai jenjang jabatan akademis asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Sedangkan yang dimaksud dengan profesor ialah jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Di samping bertugas membimbing calon doktor, yang namanya profesor memiliki kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat luas (pasal 48 dan 49).

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu seorang pendidik (guru dan dosen) berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jamsostek, promosi dan penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerjanya, seperti gaji dan tunjangan lain yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Adapun sumber pendanaannya ialah dari APBN (lihat pasal 51, 52 53 dan 54). Sementara sumber dana tunjangan profesi guru ialah dari APBN dan/atau APBD (lihat pasal 16, dan 17). Begitulah beberapa ketentuan dalam UU No 14/2005. Oleh karena itu, ketika wartawan datang mempertanyakan masalah penghargaan politik yang Rp39,25 juta itu saya menjawab atas dasar pasal-pasal tersebut.

Bukan karena nggak kebagian seperti yang disindirkan oleh beberapa kolega. Sekali lagi, sejak membaca berita mengenai rencana tersebut (Agustus 2007), saya berpendapat pemberiannya harus berdasarkan prestasi kerja. Pertimbangannya bukan hanya SK pengangkatan dan juga bukan karena mengingat gaji profesor yang masih kurang. Sebab, kalau itu alasannya, gaji guru, asisten ahli, lektor dan lektor kepala juga sangat kurang untuk menutupi kebutuhan hidup minimum dan jamsostek. Sesama sebagai pendidik semestinya tidak diperlakukan secara diskriminatif. Apalagi mengingat banyak anggota API Sumut yang tidak pernah membimbing calon doktor, baik karena bidang ilmunya yang belum ada di Sumut maupun karena sudah terlalu sibuk bekerja di luar kampus.

Kriteria utama yang selalu saya ajukan ialah berdasarkan buku dan karya ilmiah yang telah dipublikasi si profesor, serta perannya dalam mencerahkan masyarakat. Bukan atas dasar pertimbangan tanggal surat keputusan pengangkatan, yakni sebelum 1 Januari 2007. Untuk itu API Sumut tentu mudah meminta data-data karya anggotanya. Jadi, bukan dengan cara sama rata Rp39,25 juta sebelum dipotong biaya kantor API Sumut. Sebagai kaum profesional, seorang profesor tentu hanya mau menerima tunjangan dan insentif atas prestasi kerjanya. Demikianlah etika kaum profesional, yakni bekerja dengan memperoleh penghasilan yang layak sesuai kinerja masing-masing.

Mengenai masalah pemerataan bagi mayoritas pendidik (guru, asisten ahli, lektor dan lektor kepala) bisa dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah dan wakil rakyat. Sebagai profesional, siapa pun orangnya, termasuk kaum pendidik, seharusnya peduli atas kewajiban membayar pajak (PPh 21) yang sudah diatur oleh undang-undang. Para guru dan dosen lain juga membayar PPh meskipun honornya tidak sampai jutaan rupiah setahun. Selain tidak etis, berpura-pura lupa atau mengabaikan PPh 21 sangat mungkin dijerat dengan tuduhan pelanggaran hukum pajak. Demikianlah pandangan akademis saya ketika menjawab pertanyaan wartawan berkenaan kasus pembagian penghargaan politik sama rata yang Rp7,5 miliar dari APBDSU 2007 itu.

Saya sangat mengapresiasi kebijakan DPRDSU dan Pemprovsu yang selama ini saya nilai memang sangat peduli pada pendidikan di Sumut. Terutama kalau saya sendiri sebagai dosen dan ekonom USU bertemu muka dengan para politisi dan pejabat Sumut. Perjuangan DPRDSU dan keputusan Pemprovsu menyediakan anggaran untuk API Sumut (guna meningkatkan kinerja organisasi) dalam APBDSU 2007 sangat pantas diapresiasi. Apalagi kalau API Sumut tidak melupakan juniornya dalam Asosiasi Dosen I Indonesia (ADI) yang lalai memperjuangkan anggotanya. Semoga perbaikan kesejahteraan guru dan dosen yang merata menjadi satu pos anggaran dalam APBDSU 2008.

Terima kasih kepada DPRDSU dan Pemrpovsu. Semoga Tuhan membalasnya dengan yang lebih baik dan lebih banyak.

Sumber: WASPADA online -Monday, 14 January 2008